Menolak Budaya Rusuh
PAPUANEWS.ID – Pada tahun politik ini ternoda oleh kerusuhan di beberapa tempat. Kerusuhan yang paling banyak menyedot perhatian publik meletus di Kabupaten Nduga, Papua. Seperti dilansir Investor Daily (5/12/2018), pada Minggu, 2 Desember 2018 terjadi insiden penyerangan dan pembunuhan terhadap sejumlah pekerja PT Istaka Karya. Peristiwa rusuh berdarah itu menimpa para pekerja PT Istaka Karya yang mengerjakan pekerjaan fisik membangun jembatan Kali Yigi dan Kali Aurak, Distrik Yigi, Kabupaten Nduga, Papua.
Belum usai rusuh berdarah yang menelan korban pekerja dari PT Istaka Karya, sehari kemudian, Senin, 3 Desember 2018 pos pengamanan TNI di Distrik Mbua, Ndiga diserang oknum yang tidak bertanggung jawab. Korban meninggal adalah seorang anggota TNI bernama Sersan Handoko, dan satu lagi terluka tembak.
Bahasa Amarah
Berdasarkan realitas sosial di atas, apakah aksi kerusuhan kemudian dijadikan bahasa baru guna mengekspresikan amarahnya? Apakah aksi rusuh dilegalkan menjadi sebentuk kumpulan amarah ketika segala sesuatu yang ada di jagat raya tidak berpihak kepada dirinya?
Jejak digital mencatat jurang kecemburuan sosial menganga lebar di tengah jagat patembayatansosial. Pada tahun politik ini, partai politik (parpol) diduga berperan melebarkan jurang kecemburuan sosial. Pengurus parpol sengaja mengatur irama politik menyambut kontestasi Pemilu 2019. Dampaknya, sebagian masyarakat mulai terhanyut pada aransemen lagu politik yang mereka setem.
Pejabat penyelenggara pemerintahan ditengarai juga menjadi pemicu merebaknya budaya rusuh. Mereka dinilai kurang tanggap memahami realitas sosial, budaya dan ekonomi rakyat yang dipimpinnya. Dalam kesehariannya, mereka sering melakukan tindakan “kekerasan sosial”. Hal itu terlihat ketika mereka menjalankan roda pemerintahan yang menjadi tanggung jawabnya.
Program kerja yang mereka buat ternyata dikerjakan secara tidak konsisten. Akibatnya, upaya menyejahterakan masyarakat menjadi jalan di tempat. Semuanya itu berujung pada kesenjangan sosial yang semakin panjang melingkar. Dampak turunannya, sebagian masyarakat dibiarkan lapar perutnya dan dahaga pikirannya.
Dalam perspektif budaya visual, lapar perut terjadi karena secara ekonomi mereka tidak berdaya. Bagi mereka makan kenyang adalah sebuah kemustahilan. Ketika lapar perut tidak pernah terselesaikan, maka secara psikologis, emosi sang lapar pun selalu membahana naik-turun.
Pada titik itu, ketika muncul lontaran kata yang disuarakan dan ujaran yang dituliskan menyinggung sanubari mereka, saat itulah kerusuhan meledak. Di sisi lainnya, dahaga pikiran dapat dituntaskan dengan memberikan minuman berenergi berupa pengetahuan dan wawasan yang disemaikan lewat jalur pendidikan.
Keberadaannya diyakini mampu mendewasakan peserta didik dalam mengelola akal pikiran dan nalar perasaan saat berkarya nyata di tengah masyarakat.
Ketika semakin banyak warga menempuh pendidikan yang mampu memerdekakan nalar perasaan dan akal pikirannya, pada titik ini, budaya rusuh yang diposisikan sebagai bahasa baru guna mengekspresikan amarah jiwa dapat diredam dan diperhalus gaya ungkapnya.
Sebaliknya, manakala pendidikan tidak dianggap menjadi bagian investasi masa depan untuk meningkatkan wawasan dan intelektualitas masyarakat, maka budaya rusuh pun menjadi “bom waktu” yang setia menunggu sang waktu untuk diledakkan.
Penyebab lainnya, bekal pendidikan dan pendampingan social dari keluarga inti menjadi kurang kondusif. Orang tua tidak sempat lagi mendampingi mereka menjadi manusia dewasa yang berkepribadian luhur.
Mereka selalu memasang target materialisme dengan dalih meraih kesuksesan. Berwujud: pangkat, kekuasaan dan harta kekayaan. Pada akhirnya, lingkungan keluarga ini terlihat enggan menjadi pionir yang rela mengabdikan dirinya guna mengembangkan ideologi kemanusiaan yang adil dan beradab.
Kelelahan Sosial
Maraknya budaya rusuh sejatinya merupakan representasi dari kelelahan sosial. Hal itu mengemuka akibat pendaran sinar aura kemanusiaan yang adil dan beradab semakin meredup dari genggaman kehidupan patembayatan sosial. Untuk itu, pejabat penyelenggara pemerintahan, anggota dewan, petinggi parpol, pengusaha, warga kampus dan warga masyarakat seyogianya menjalin kerja kolaborasi positif. Cara pintar yang dapat dilakukan adalah lewat jalur proses komunikasi dialogis.
Ikhtiar cerdas semacam itu diharapkan mampu memberikan tawaran makna positif atas ideologi kemanusiaan yang adil dan beradab. Hal ini wajib diwujudkan demi mengikis jurang kecemburuan sosial yang menjadi akar permasalahan munculnya budaya rusuh.
Penulis: Sumbo Tinarbuko
Pemerhati Budaya Visual dan Dosen Komunikasi Visual FSR ISI Yogyakarta
Terima kasih karena telah membaca informasi tentang Menolak Budaya Rusuh . Silahkan membaca berita lainnya.